Prediksi Gaddafi Tentang Syria dan Lebanon Kembali Dibahas - Pahae Julu

Selasa, 30 September 2025

Prediksi Gaddafi Tentang Syria dan Lebanon Kembali Dibahas


Muammar Gaddafi, mantan pemimpin Libya, kembali menjadi sorotan setelah sebuah video pidatonya pada tahun 1992 beredar kembali di media sosial. Dalam rekaman itu, ia memperingatkan adanya rencana besar untuk mengobok-obok Suriah dan Lebanon dari peta politik, sehingga Israel dapat berbatasan langsung dengan Turkiye. Pidato tersebut kini menjadi bahan diskusi panas di tengah gejolak geopolitik Timur Tengah.

Dalam video yang diposting akun @AdameMedia di platform X, Gaddafi menyebut bahwa rencana ini tidak hanya soal perebutan wilayah, tetapi strategi jangka panjang. Ia bahkan menekankan bahwa hasil dari rencana ini mungkin tidak akan terlihat di masanya, melainkan di masa anak cucu generasi berikutnya. Ucapan ini dianggap sebagian pihak sebagai ramalan yang kini mulai terlihat nyata.

Rencana yang disebut Gaddafi memiliki kemiripan dengan apa yang dikenal sebagai Oded Yinon Plan. Dokumen yang ditulis pada 1982 oleh Oded Yinon, seorang mantan pejabat Kementerian Luar Negeri Israel, menggambarkan strategi untuk melemahkan negara-negara Arab dengan cara memecahnya menjadi bagian-bagian kecil. Tujuannya agar Israel lebih mudah mengendalikan kawasan.

Sejak dokumen itu muncul, wacana mengenai "balkanisasi" Timur Tengah terus menjadi topik hangat. Para pengamat menilai bahwa pecah belah internal, konflik sektarian, dan perang saudara di negara-negara Arab, terutama Suriah dan Irak, menjadi bukti bahwa strategi tersebut berjalan dengan pola yang mirip. Hal inilah yang membuat pidato Gaddafi kembali relevan.

Perang sipil Suriah atau Musim Semi Arab yang pecah sejak 2011 menjadi contoh paling nyata dari fragmentasi negara. Berbagai wilayah kini dikuasai oleh faksi berbeda, mulai dari pemerintah Bashar al-Assad, kelompok oposisi, hingga milisi Kurdi dan oposisi yang pernah menguasai wilayah luas. Kondisi ini dianggap selaras dengan apa yang diperingatkan Gaddafi lebih dari tiga dekade lalu. Pasca Assad hengkang, kini terdapat kekuatan SDF Kurdi, separatis Druze milisi Al Hajri pro neokolonialisme Greater Israel selain Damaskus yang kini dengan pemerintahan baru Presiden Ahmed Al Sharaa.

Lebanon juga tidak lepas dari gejolak. Negara kecil itu terus terjebak dalam krisis politik, ekonomi, dan sektarian. Konflik di Suriah semakin memperkeruh situasi, membuat Lebanon menjadi arena pertarungan proxy antara kekuatan regional. Instabilitas inilah yang membuat sebagian orang kembali menyoroti kata-kata Gaddafi.

Konsep “balkanisasi” yang digunakan Gaddafi merujuk pada perpecahan negara besar menjadi entitas kecil yang saling bertentangan. Istilah ini berasal dari pengalaman sejarah Balkan pada awal abad ke-20. Menurut sejumlah pakar geopolitik, strategi serupa tampaknya memang sedang dimainkan di kawasan Levant.

Turkiye, yang disebut Gaddafi dalam pidatonya, tentu menolak ambisi Tel Aviv itu. Meski dulu hubungan Ankara dan Tel Aviv cukup dekat, kini dinamika regional membuat keduanya sering berada di pihak yang berbeda.

Pernyataan Gaddafi pada 1992 seakan memberi isyarat bahwa pergeseran geopolitik Timur Tengah adalah sesuatu yang sudah diprediksi sejak lama. Meski tidak semua analis percaya bahwa ada skenario tunggal yang dijalankan, kenyataannya perkembangan di lapangan membuat ucapan itu terasa lebih masuk akal dibanding sebelumnya.

Banyak pihak menilai bahwa konflik-konflik di Timur Tengah memang tidak bisa dilepaskan dari campur tangan kekuatan besar, baik regional maupun global. Mulai dari intervensi Amerika Serikat, peran Rusia, hingga strategi Israel, semuanya ikut membentuk arah perkembangan kawasan yang semakin tidak stabil.

Sejumlah akademisi berpendapat bahwa pidato Gaddafi merupakan bentuk peringatan tentang bahaya perpecahan dunia Arab. Ia, yang dikenal dengan retorika anti-kebijakan semena mena Barat dan Israel, mungkin menggunakan isu ini untuk memperingatkan potensi ancama bagi dunia Arab. Tak sedikit yang menganggap bahwa Gaddafi memang membaca peta geopolitik dengan cukup tajam.

Seiring berjalannya waktu, banyak pengamat yang membandingkan situasi Suriah dan Lebanon dengan prediksi Gaddafi. Meski Lebanon belum hilang dari peta, krisis politik dan ekonomi yang berkepanjangan membuat negara itu seolah berada di tepi kehancuran. Sementara Suriah sudah jelas terpecah ke dalam beberapa zona kekuasaan.

Keterlibatan aktor non-negara juga menjadi faktor penting. Kelompok seperti Hizbullah, Druze, hingga milisi Kurdi mempertegas realitas bahwa Suriah dan Lebanon bukan lagi entitas negara yang sepenuhnya utuh. Fragmentasi ini menambah bobot pada klaim Gaddafi bahwa kawasan itu akan dipecah menjadi unit-unit kecil.

Meski demikian, sebagian analis menilai pernyataan Gaddafi sebaiknya tidak diambil bulat-bulat. Menurut mereka, pidato itu lebih merupakan prediksi akan tingkah hegemon Israel dan Barat, ketimbang sebuah dokumen strategi. Namun, fakta di lapangan membuat garis antara retorika dan realita semakin kabur.

Isu ini juga kembali mengangkat perdebatan tentang doktrin keamanan Israel. Sejak lama, Israel dinilai berkepentingan agar negara-negara tetangganya tetap lemah, terpecah, atau sibuk dengan konflik internal. Dengan begitu, Israel aka lebih mudah mewujudkan agenda neo kolonialismenya.

Sementara itu, masyarakat Lebanon dan Suriah kini menghadapi kenyataan pahit. Kehancuran infrastruktur, krisis ekonomi, serta perpecahan sosial menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Situasi inilah yang membuat prediksi tentang “hilangnya” kedua negara terasa semakin relevan.

Meski prediksi Gaddafi tidak bisa dianggap sebagai nubuatan yang pasti, pidatonya memberikan perspektif tentang bagaimana dinamika global bisa membentuk nasib negara. Hal ini juga menunjukkan bahwa isu geopolitik sering kali bukan semata hasil konflik internal, melainkan bagian dari agenda yang lebih besar.

Kini, di tengah meningkatnya kampanye genosida Israel terhadap warga Palestina di Gaza, pembahasan mengenai pidato Gaddafi tampaknya akan terus berlanjut. Banyak yang melihatnya sebagai peringatan dini tentang arah perkembangan kawasan, meski kebenaran pastinya masih sulit dipastikan.

Yang jelas, Timur Tengah tetap menjadi kawasan paling rawan di dunia, tempat di mana ramalan politik bisa sewaktu-waktu menjadi kenyataan. Gaddafi mungkin sudah tiada, namun kata-katanya masih bergema dan terus diperdebatkan hingga kini.

Apakah prediksi Gaddafi benar-benar akan terbukti? Jawabannya masih bergantung pada dinamika politik, konflik, dan aliansi baru yang terus terbentuk. Namun, satu hal pasti: Timur Tengah tetap berada di pusaran ketidakpastian yang sulit ditebak.

Tidak ada komentar: