Di tengah hingar bingar pemilu India 2024 yang baru saja berlalu, salah satu isu yang kembali mencuat adalah soal keterwakilan komunitas Muslim di parlemen negara itu. Meski umat Islam merupakan minoritas terbesar di India dengan populasi sekitar 14 persen dari total penduduk, jumlah wakil mereka di Lok Sabha justru mengalami penurunan drastis. Pada periode kali ini, hanya 24 anggota parlemen beragama Islam yang berhasil duduk di kursi legislatif pusat, jumlah terendah dalam enam dekade terakhir.
Lok Sabha yang memiliki total 543 kursi kini hanya menyisakan sekitar 4,4 persen perwakilan Muslim. Padahal jika mengikuti proporsi demografis, seharusnya angka tersebut bisa mencapai sekitar 70 kursi. Namun realitas politik India hari ini memperlihatkan betapa sulitnya komunitas Muslim untuk mendapat ruang di panggung kekuasaan nasional. Kondisi ini memunculkan banyak pertanyaan dari pengamat politik dan komunitas minoritas di India.
Salah satu faktor utama rendahnya jumlah wakil Muslim di parlemen India adalah sistem pemilu yang diterapkan. India menganut sistem first-past-the-post, di mana calon yang mendapat suara terbanyak di satu daerah pemilihan otomatis menjadi pemenang. Sistem ini membuat calon dari komunitas minoritas sulit unggul jika tidak memiliki dukungan lintas agama di daerah pemilihan yang mayoritas bukan Muslim.
Selain soal sistem, konsentrasi populasi Muslim yang tersebar di berbagai wilayah India juga turut menyulitkan. Kecuali di beberapa negara bagian seperti Uttar Pradesh, Bihar, Assam, Kerala, dan Jammu & Kashmir, jumlah pemilih Muslim di tiap daerah pemilihan umumnya minoritas. Kondisi ini membuat sulit bagi kandidat Muslim untuk menang jika tidak didukung partai-partai besar atau koalisi yang kuat.
Sayangnya, partai penguasa Bharatiya Janata Party (BJP) sama sekali tidak mencalonkan kandidat Muslim dalam pemilu 2024. Padahal BJP merupakan partai dengan kekuatan politik terbesar di India saat ini. Keputusan BJP ini bukan hal baru, sebab sejak beberapa pemilu terakhir partai nasionalis Hindu tersebut memang jarang memberi ruang bagi kader Muslim untuk maju sebagai calon legislatif.
Sementara partai-partai oposisi seperti Congress, Trinamool Congress (TMC), dan Samajwadi Party (SP) masih mengusung kandidat Muslim, namun jumlahnya tetap terbatas. Congress yang merupakan partai nasional utama hanya mengusung tujuh kandidat Muslim, sementara TMC yang berbasis di Benggala Barat mencalonkan lima orang. Sisanya berasal dari partai-partai regional di Kerala, Tamil Nadu, dan Jammu & Kashmir.
Meski demikian, beberapa tokoh Muslim berhasil mempertahankan kursi mereka, seperti Asaduddin Owaisi dari Hyderabad, satu-satunya wakil dari partai All India Majlis-e-Ittehad-ul Muslimeen (AIMIM). Owaisi dikenal vokal membela hak-hak minoritas Muslim di India. Ia menjadi salah satu suara penting di parlemen yang menyoroti berbagai kebijakan pemerintah pusat yang dinilai diskriminatif terhadap komunitas Muslim.
Di Jammu & Kashmir, wilayah mayoritas Muslim yang telah dicabut status otonominya sejak 2019, hanya tiga kandidat Muslim yang berhasil melaju ke parlemen. Mereka berasal dari partai National Conference dan satu dari jalur independen. Sementara di Uttar Pradesh, negara bagian terpadat di India, empat politisi Muslim berhasil duduk di parlemen berkat dukungan Samajwadi Party.
Tren menurunnya jumlah legislator Muslim ini disayangkan banyak pihak, mengingat umat Islam India memiliki kontribusi besar dalam sejarah kemerdekaan dan pembangunan negara itu. Dalam beberapa dekade pascakemerdekaan, perwakilan Muslim di parlemen sempat mencapai 9 hingga 10 persen, meski masih di bawah proporsi jumlah penduduknya. Namun sejak 1990-an, angka itu terus menurun seiring menguatnya politik identitas berbasis agama.
Selain itu, situasi polarisasi agama yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir turut memengaruhi pilihan politik masyarakat India. Banyak pemilih non-Muslim yang enggan mendukung kandidat Muslim, bahkan meskipun kandidat tersebut berasal dari partai sekuler. Akibatnya, banyak calon Muslim yang kalah tipis di daerah pemilihan campuran.
Yang menarik, pemilih Muslim India sendiri di beberapa daerah lebih memilih memberikan suara kepada kandidat non-Muslim yang dianggap mampu mengalahkan calon dari partai nasionalis Hindu. Langkah pragmatis ini diambil demi mencegah dominasi partai penguasa di daerah tersebut, meski harus mengorbankan keterwakilan dari komunitasnya sendiri.
Di tengah situasi ini, para politisi Muslim yang terpilih di parlemen menghadapi tantangan besar. Mereka harus memperjuangkan aspirasi komunitasnya di tengah parlemen yang didominasi partai-partai nasionalis Hindu. Apalagi, berbagai isu sensitif seperti kebijakan kewarganegaraan, pengaturan pernikahan antar agama, dan status Kashmir masih terus menjadi polemik nasional.
Sementara itu, beberapa lembaga survei dan organisasi hak asasi manusia telah menyuarakan kekhawatiran atas semakin menipisnya keterwakilan Muslim di parlemen India. Mereka menilai hal ini berpotensi memperburuk situasi politik minoritas di India, yang belakangan kerap mengalami diskriminasi sosial dan kekerasan sektarian.
Sejumlah analis politik menilai, situasi ini bisa berdampak jangka panjang terhadap hubungan sosial antaragama di India. Keterwakilan politik yang rendah dapat membuat komunitas Muslim merasa terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat nasional. Kondisi ini dikhawatirkan akan memperdalam jurang perpecahan dan ketidakpercayaan antar kelompok di masyarakat.
Namun di sisi lain, ada pula yang berpendapat bahwa keterwakilan Muslim di parlemen bukan hanya soal jumlah, melainkan juga soal kualitas perjuangan dan keberanian menyuarakan aspirasi minoritas. Mereka menilai figur seperti Asaduddin Owaisi dan beberapa politisi muda Muslim lainnya bisa menjadi kekuatan moral baru di tengah parlemen yang semakin homogen.
Kondisi parlemen India saat ini seolah menjadi cerminan situasi politik identitas yang tengah menguat di berbagai belahan dunia. Keterwakilan minoritas, baik agama maupun etnis, menjadi isu yang kian penting di era demokrasi modern. Dan India, sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, kini menghadapi tantangan serius dalam menjaga keseimbangan representasi politik seluruh warganya.