Minteri Soal Ratu Elizabeth II Disebut Keturunan Nabi Muhammad SAW - Pahae Julu

Kamis, 10 Mei 2018

Minteri Soal Ratu Elizabeth II Disebut Keturunan Nabi Muhammad SAW

ilustrasi
PAHAE JULU -- Sejumlah media  menurunkan tulisan dengan tajuk Ratu Elizabeth II adalah keturunan Nabi Muhammad. Hal itu terlihat pada tabloid Inggris, seperti The Daily Mail dan The Daily Express. Al Ousboue, surat kabar Maroko, pada Maret 2018 juga menurunkan tulisan soal ini. Begitu juga dengan beberapa media di Timur Tengah.

Di media sosial, kabar bahwa Ratu Elizabeth II punya hubungan darah dengan Nabi Muhammad kemudian menjadi viral hingga saat ini.  Kalau berita itu benar, berarti Ratu Elizabeth adalah sepupu raja-raja Maroko dan Yordania. Tapi benarkah?

Majalah Tempo edisi 29 April 2018 menurunkan tulisan untuk menjawab pertanyaan di atas dengan mengutip sejumlah artikel. Berikut tulisan Tempo.

Memang, dugaan hubungan antara raja-raja Inggris dan Nabi Muhammad sudah lama muncul dan dibahas para sejarawan.

Abdelhamid al-Aouni, sejarawan Maroko yang juga penulis artikel di Al Ousboue, melacak kembali pohon keluarga sang Ratu dan menemukan bahwa darah biru Elizabeth II diturunkan dari Earl of Cambridge pada abad ke-14, melintasi kaum muslim Spanyol di Abad Pertengahan, hingga berhulu ke Fatimah, putri Nabi Muhammad.

"Ini membangun jembatan antara dua agama dan dua kerajaan," kata Al-Aouni, seperti dikutip Newsweek.

Mantan Mufti Agung Mesir, Ali Gomaa, juga pernah meneguhkan ini. "Seseorang, yang berasal dari Bani Hasyim (keluarga Nabi), ditangkap di Inggris dan dipaksa masuk Kristen. Konon dia adalah nenek moyang Ratu Elizabeth II," ujar Gomaa dalam sebuah acara di stasiun televisi swasta Mesir yang diasuhnya, CBC, pada 2015.

"Menyangkal kenyataan dan sejarah tidak akan mengarah pada pemikiran yang baik," kata ulama 66 tahun itu. Di laman Facebooknya, Gomaa memajang senarai pranala ke buku-buku mengenai hal ini. Salah satunya temuan Harold B. Brooks-Baker, ahli silsilah raja-raja Inggris, pada 1986.

Brooks-Baker adalah Direktur Burke's Peerage Foundation, yayasan Inggris yang khusus meneliti dan mempublikasikan catatan silsilah ningrat Inggris. Buku-buku Burke's Peerage dianggap otoritatif dalam memetakan asal-usul para ningrat Eropa.

"Sedikit orang Inggris yang mengetahui bahwa darah Muhammad mengalir di pembuluh darah ratu. Namun semua pemimpin agama Islam bangga dengan fakta ini," katanya, seperti dikutip United Press International.

Al-Aouni dan Brooks-Baker sama-sama menemukan kaitan antara Ratu Elizabeth II dan ningrat muslim dengan melacak garis darah ke atas hingga generasi ke-43. Tapi para genealog atau ahli silsilah memperingatkan, jika kita melacak garis nenek moyang kita lebih dari 43 generasi, secara statistik kita punya sekitar 60 ribu moyang. Dengan kata lain, kita semua sangat mungkin bersaudara.

Pelacakan itu akan tiba pada masa Bani Umayyah, kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin. Kekhalifahan yang didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan ini menguasai jazirah Arab, Afrika bagian utara, hingga Al-Andalusia (kini Spanyol).

Raja-raja Eropa merebut kembali satu per satu wilayah Andalusia pada akhir abad ke-11. Salah satu yang terkenal adalah Raja Leon, Alfonso VI dari Kastilia. Ia jadi legenda setelah merebut Toledo pada 1085 dan mendeklarasikan dirinya sebagai Raja Toledo, Al-Andalusia, dan Galisia.

Alfonso menikah sekurang-kurangnya lima kali dan punya dua selir. Salah satu selir itu disebut-sebut bernama Zaida. Kerumitan mulai terjadi di sini karena sejumlah kronik menyatakan Zaida adalah muslimah yang pindah ke agama Kristen. Al-Aouni dan Brooks-Baker sama-sama merujuk pada Zaida sebagai titik sambung antara garis keturunan Raja Inggris dan garis Nabi.

Salah satu buku yang paling sering jadi rujukan mengenai Zaida adalah Chronicon Regum Legionensium karya Uskup Pelayo dari Oviedo yang terbit sekitar 1121.

"Dia (Alfonso) juga punya dua selir: Jimena Munoz dan Zaida, putri Abenabeth (Ibn Abbad), Raja Sevilla, yang dibaptis dan diberi nama Elizabeth, yang kemudian melahirkan Sancho, yang wafat dalam perang Ucles," tulis Pelayo.

Masalahnya, Pelayo punya reputasi buruk di mata sejarawan. Misalnya, Simon Barton, dalam Conquerors, Brides, and Concubines: Interfaith Relations and Social Power in Medieval Iberia (2015), menyebutnya sebagai pemelintir cerita dan pemasok dokumen palsu.

Tapi Pelayo tidak sendirian. Kisah Zaida ini didukung catatan dari masa itu, seperti Chronicon Floriacense, yang disusun biara Fleury di Loire Valley, Prancis Tengah. Kitab itu membahas kemenangan Almoravid, dinasti Islam di Maroko, atas pasukan Leon-Kastilia dalam perang Ucles pada 1108. Kronik itu menyebutkan putra Raja Alfonso, Sancho, "Dilahirkan dari perawan mulia Saracen (Salahuddin) yang telah dibaptis."

Sejarawan muslim Ibn Idhari al-Marakushi menyebutnya dalam Al-Bayan Al-Mughrib Fi Akhbar Al-Andalusi Wa Al-Maghrib. Berbeda dari sejarawan Kristen, dia mengatakan Sancho sebagai putra Alfonso "yang diperoleh dari istri Al-Mamun ibn Abbad yang telah pindah ke agama Kristen".

Joshua C. Birk, dalam Norman Kings of Sicily and the Rise of the Anti-Islamic Critique: Baptized Sultans (2016), menyodorkan alternatif lain: Zaida adalah menantu Ibn Abbad dan janda Fath al-Mamun dari Kordoba, putra Ibn Abbad. Menurut Birk, Ibn Abbad bersedia memberi persembahan kepada Alfonso agar Sevilla tidak diserang.

Ketika Kordoba jatuh ke tangan Almoravid dan suaminya wafat, Zaida menjadi selir Alfonso. Zaida lalu pindah agama menjadi Kristen dan dibaptis sebagai Isabella. "Hal ini melahirkan kebingungan dan kemungkinan pencampuradukan dengan Isabella dari Prancis dalam kronik sejarah," tulis Birk. Sejumlah kronik mencatat bahwa Alfonso menikah dengan seorang perempuan bernama Isabella pada 1099. Apakah Isabella ini sama dengan Zaida, tak pernah pasti hingga kini.

Patricia Grieve, guru besar Departemen Budaya Amerika Latin dan Iberi, Columbia University, menilai cerita ini hanyalah mitos yang tumbuh di masyarakat Al-Andalusia masa itu.

Dalam The Eve of Spain: Myths of Origins in the History of Christian, Muslim, and Jewish Conflict, Grieve menggambarkan banyak fiksi yang lahir dari kisah Zaida ini karena menawarkan alur memikat: seorang muslimah yang jatuh cinta kepada seorang raja Kristen, pindah agama ke Kristen, dan melahirkan satu-satunya putra bagi sang raja.

Sejarawan masa kini umumnya ragu akan kesahihan kisah ini. Lesley Hazleton, penulis yang telah menerbitkan beberapa buku tentang masa awal Islam, mengkritik artikel Abdelhamid al-Aouni yang bikin heboh itu. "Itu pelintiran lintas-agama yang bermaksud baik," kata Hazleton. Tapi, "Itu jebakan klik (clickbait)," ujarnya, seperti dikutip kanal sejarah populer Amerika Serikat, History.com.

Hazleton menganggap cerita hubungan darah Ratu Elizabeth II dengan Nabi itu cuma rumor sebagai reaksi terhadap upaya menjelek-jelekkan Islam di Barat. Menurut dia, hal ini mengungkapkan sebuah harapan bahwa Elizabeth mungkin meminjamkan "kehormatan" kepada agama utama dunia itu. (sumber)

Tidak ada komentar: